antologi.dunia: Memoir Anak Desa – Rindu Akan Boncengan Sepeda Tua

Sabtu, 30 Oktober 2010

Memoir Anak Desa – Rindu Akan Boncengan Sepeda Tua



Rindu Akan Boncengan Sepeda Tua



 Sepeda tua... 



Sepeda tua, 
Tampaknya padaku mengembalikan memori indah silam,
Saat boncengan atas karia,
Dan embah yang mengayuh pedal dengan perlahan.

Bak kata Imam Ghazali,
Benda yang paling jauh adalah...
            ...masa lalu...
Takkan mampu digapai kembali dek tangan,
Walau mata darah menjadi mas hantaran,
Lalu kenangan indah itu hanya mampu ditayang kembali di atas layar hati,
Diprojektori oleh memori yang menjadi episod-episod yang betah bertahan dalam keributan minda.
Ada yang hilang, ada yang kabur, bercerai-pecah,
Namun dicuba kembali menyelongkar ke lubuk dalam , dicuba-cuba gigih mencantum kembali kepingan-kepingan kecil dan berselerak menjadi satu catan indah...
            ...apabila dikenang kembali...
            ...air mata pastikan menitis...

Sepeda tua yang menjadi sejarah,
Diingat-ingat kembali, tahunan yang amat sudah,
Boncenganku atas karianya yang lebar,
Dan embah yang cermat mengayuh dan berhati-hati,
Dengan kaki tuanya yang masih lagi kuat dan kejap,
Mengemudi hendal sepeda tua dengan tangannya yang ketuaan, terlihat urat kehidupan,
Dengan mata yang masih tajam memerhati jalan,
            Wanita besi dari tahun penjajah...
Embah tetap masih utuh...

Sepeda tua itu,
Masihku ingat dudukku atasnya karia,
Saat embah mengayuh dengan cermat,
Kupeluk pinggangnya dari belakang,
Kuletak wajah di tubuh belakang badannya...
            ...kusandar wajahku mengiring ke kanan...
Terasa masih kehangatan belakang badannya,
Yang menanggung beban sekian dulu,
            Menjadikan embah seorang yang tabah,

Aku rindu saat itu...

Saat bertembung babi hutan,
Saat termasuk semak rimbun di tepi jalan,
Saat jatuh menggelongsor ke bawah ban,
Atau mencari keladi di ladang kelapa sawit,
Embah tetap dengan cermat mengayuh sepeda tuanya,
Dan aku menjadi teman sejati di atas karia belakang,
Memegang guni atau bekalan makan ,
Memegang parang atau bungkusan plastik,
Atau memaut erat pinggangnya embah...
Pengemudian embah untuk cucunya,
Cermat dan teguh,
Walau bertembung dengan babi hutan melintas di tengah jalan,
Tidak goyah atau melatah,
Tetap utuh demi cucunya,

Sayang embah masih lagi hangat terasa...

Hari ini,
Sepeda tua itu telah menjadi sejarah,
Dan embah sudah tidak larat,
Untuk mengayuh dengan kakinya,
Sudah gontai, kakinya sudah sakit-sakit, tangannya sudah tidak lalu,
Namun embah masih lagi kuat,
Embah masih lagi embah yang lalu.

Sepeda tua...
Mungkin kini aku tidak lagi duduk di karia,
Tapi aku pula akan mengemudi hendal, memegang...
            ...dan embah pula yang akan membonceng...

Sepeda tua...
Aku rindu akan boncengan atas karianya,
Bersama embah...


Saat indah...

Anak desa

4.00 A.M.
22 Zulkaedah 1431 - 30 Oktober 2010

*sepeda-basikal
*embah-nenek

2 ulasan:

miss_purplish89 berkata...

rindu bertembung dgn babi hutan?
hik3..

Jamal Ali berkata...

Kepada miss_purplish89:

Oh, tidak! Benda itu jangan dirindu, tapi dijauhkan.
Tapi bila dikenang kembali, ia menjadi memori manis... ^^